pengaruh nama  

Posted by: Uwais Abdulloh in

“What’s the meaning of the name”
Ikhwan fillah…
Itulah sebuah pertanyaan masyhur dalam salah satu drama klasik William Shakespeare, seorang sastrawan dan penulis skenario drama yang sangat dikagumi oleh pecinta seni teater seluruh dunia. Berbeda dengan Hellen Keller, seorang cendikiawati penyandang cacat ganda, tuna netra, tuna rungu, dan tuna wicara. Dia mengalami sendiri betapa penting dan berartinya sebuah nama. Dalam “Everything Has a Name”, ia menulis betapa cakrawala pemikirannya menjadi terbuka saat menyadari bahwa segala sesuatu ada namanya. Lantas bagaimanakah islam nama bagi anak?
Ketika anak terlahir ke dunia maka dia memiliki hak-hak yang harus ditunaikan oleh orangtuanya. Salah satunya adalah diberi nama yang baik. Pemberian nama tersebut disunahkan untuk dilakukan pada hari ketujuh dari kelahirannya. Hal ini berdasar sabda Rasulullah  : “Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya yang disembelih pada hari ketujuh, kemudian dicukur rambutnya, dan diberi nama.”
Sesungguhnya nama-nama yang baik akan terpatri dalam jiwa sang anak sejak pertama kali mendengarnya. Dan dengannyalah kelak dia akan dipanggil di hari kiamat. Oleh karenanya Rasulullah  memerintahkan untuk memperbagus nama. Hal ini sebagaimana yang beliau sabdakan :
إِنَّكُمْ تُدْعَوْنَ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ بِأَسْمَائِكُمْ وَ أَسْمَاءِ آبَائِكُمْ, فَأَحْسِنُوْا أَسْمَائَكُمْ
“Sesungguhnya kalian pada hari kiamat akan dipanggil dengan nama kalian sendiri dan nama-nama ayah kalian. Maka baguskanlah nama-nama kalian.”
Selain itu, pemberikan nama anak dengan nama-nama yang baik merupakan salah satu syiar islam. Adalah bangsa Arab dahulu memberikan nama anak-anak mereka dengan nama-nama sesembahan mereka. Maka, ketika Allah  mengutus nabi untuk menegakkan pilar-pilar tauhid maka beliau juga mengatur pemberian nama sedemikiaan rupa. Di dalam salah satu sabdanya Rasulullah  mengajarkan kepada umatnya nama yang dicintai Allah. Beliau bersabda:
أَحَبُّ اْلأَسْمَاءِ إِلىَ اللهِ تَعَالىَ عَبْدُ اللهِ وَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ
“Nama yang paling dicintai oleh Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman”.
Begitu bersemangatnya para shahabat mengamalkan hadits ini sehingga Ibnu Shalah mencatat sekitar 220 orang shahabat yang memiliki Abdullah. Sedangkan Iraqi mengatakan bahwa jumlah keseluruhannya mencapai 300 orang.
Sayangnya tidak banyak orangtua mengetahui hal ini. Satu fenomena di masyarakat, banyak orangtua yang memberi nama dengan seadanya. Kadang mereka mengaitkan dengan hari kelahiran, bulan kelahiran, atau tahun kelahiran. Bahkan ada juga orangtua memberi nama anaknya dengan apa yang terbersit dalam benaknya.
Seringkali pula orangtua memberikan nama dengan nama yang sering berlaku di masyarakat, yang lagi ngetren, atau yang kelihatan kearab-araban. Walaupun nama yang diberikan tidak memiliki makna yang jelas bahkan menyalahi syar’i.
Ikhwan fillah…
Pengaruh nama
Nama memiliki sejuta rahasia. Bukan hanya sebagai panggilan belaka ataupun sekedar pembeda. Lebih dari itu nama merupakan doa dan harapan orangtua. Maka, barangsiapa memperhatikan sunnah niscaya akan mendapatkan keterkaitan antara nama dan pemiliknya. Ibnu Qoyyim menggambarkan keterkaitan antara nama dan pemiliknya seperti ruh dan jasad. Seakan nama tersebut mempengaruhi “kepribadian” bahkan “nasib” pemilik nama. Oleh karenanya Rasulullah  tidak menyukai nama yang jelek. Beliau sangat membenci orang, tempat, atau kabilah yang mempunyai nama yang jelek.
Sebagaimana hadits Sa’id bin Musayyib dari bapaknya dari kakeknya bahwa ia berkata : “Aku datang kepada nabi .. Maka beliau bertanya: “Siapakah namamu” Hazan (keras) jawabnya. Beliau bersabda: “Engkau Sahl (lembut)”. Dia menjawab: “Aku tidak akan merubahnya, Sahl itu diinjak-injak dan diremehkan.” Ibnu Musayyib kemudian berkata : “Karena itu, akhirnya dia selalu bersikap keras.”
Di dalam kisah yang lain, suatu ketika Umar bin Khattab bertanya kepada seseorang: “Siapa namamu?”. Iapun menjawab, “Jamroh (Api Membara)”. “Anak siapa?” lanjut Umar. “Anak Syihab (Cahaya Api)” balasnya. Dari kabilah mana?” tanya Umar. “Dari Hirqoh” (terbakar), jawabnya tanpa ragu. Untuk kesekian kalinya Umar kembali bertanya: “Di mana tinggalmu?”. “Di Bahratun Nar (Lautan Api), jawab orang tersebut. Kemudian Umar bertanya untuk terakhir kalinya, “Di daerah mana?” Ia menjawab, “Dzati ladho” (mempunyai nyala yang bergejolak). Maka Umar bin Khattab berkata kepadanya, “Pulanglah dan temuilah keluargamu niscaya kau dapatkan mereka telah hancur binasa dan terbakar". Ternyata terjadilah sebagaimana yang dikatakan.
Suatu ketika Rasulullah hendak pergi berperang dan akan melewati dua buah gunung. Kemudian beliau bertanya nama kedua gunung tersebut. Maka para shahabat pun menjawab: Fadhih (yang membuk aib) dan Mukhzi (yang memalukan). Mendengar jawaban tersebut beliau berpaling dan mengambil jalan lainnya.
Begitu juga ketika Halimah As Sa'diyah datang kepada Abdul Muthallib agar dikabulkan menjadi iu susu Rasulullah, maka Abdul Muthallib bertanya kepadanya: "Siapa kamu?" Ia menjawab, "Seorang wanita dari Bani Sa'ad." Siapa namamu?" Tanya Abdul Muthallib. Ia menjawab: "Halimah" Kemudian Abdul Muthallib berkata: "Bagus…bagus, "Sa'ad" dan "Halm" dua sifat ini mengandung makna kekayaan yang abadi."
Dari Jami’ Ibnu Wahab disebutkan bahwa suatu hari beberapa orang dengan membawa seorang anak kecil datang menghadap Rasulullah , maka beliau bertanya kepada mereka, “anak kecil ini kalian beri nama siapa?” mereka menjawab, “As Saaib” (berarti yang mencekik) maka Rasulullah bersabda, “jangan diberi nama “As Saaib”, tapi berilah nama “Abdullah”. Disebutkan bahwa mereka tidak mau merubah nama tersebut. Maka akhirnya anak tadi meninggal dalam keadaan hilang akalnya. Maka menjaga ucapan dan memilih nama yang baik merupakan taufiq dari Allah.
Barangsiapa yang memiliki kecermatan jiwa dalam hal ini, akan bisa mengambil manfaat sebanyak-banyaknya. Karena musibah itu berkaitan dengan ucapan. Abu Umar berkata: “Nabi  bersabda: “Bala’ (bencana) itu terkait dengan ucapan”.
Ikhwan fillah…
Tinjauan Psikologis
Nama bukanlah masalah sepele. Ditinjau dari ilmu psikologi, nama memberikan dampak psikologi kepada pemilik nama. Bahkan hal ini menjadi penentu keberhasilan manusia. Setidaknya ada 5 pengaruh nama terhadap psikologi seseorang:
1. Pencitraan Diri
Nama bukan saja sebagai identitas bahkan nama ikut berperan dalam membentuk citra. Secara tidak sadar orang akan terdorong untuk memenuhi citra (image, gambaran) yang terkandung dalam namanya. Nama yang baik akan membawa anak mempunyai citra yang positif tentang dirinya, yaitu berkembang menjadi manusia yang memiliki kepribadian baik.
Sebaliknya, nama yang jelek akan pula membawa anak cenderung mempunyai citra yang negative. Sehingga cenderung mengembangkan sikap kurang percaya diri, pesimis, suka melanggar atau berbuat dengan tingkah lakunya kurang baik lainnya.
2. Menarik Perhatian
Nama dapat juga digunakan untuk menarik perhatian. Oleh karenanya apabila anak memiliki nama yang baik niscaya dia akan menjadi pusat perhatian. Umumnya nama-nama seperti ini cukup memberikan peluang untuk menaikkan percaya dirinya. Sebaliknya bagi anak yang sejak awal kurang memiliki percaya diri, maka dengan nama-nama yang “nyeleneh” atau “mencolok” seperti itu justru mempertebal sifat mindernya.
3. Pengabaian Individu
Ada beberapa nama yang begitu umum dipakai di masyarakat. Dengan menggunakan nama-nama yang begitu umum tersebut akan menghilangkan perasaan seseorang akan individulitasnya. Hal ini juga dialami mereka yang memiliki nama yang terlalu pendek. Karena pendeknya, orang menjadi kurang memperhatikan dan menyebabkan pemiliknya merasa terabaikan.
4. Konotasi Buruk yang Menyakitkan Hati
Seringkali nama-nama yang kurang baik dikonotasikan negative oleh masyarakat. Sehingga mereka memberikan panggilan yang membuat malu. Tentu saja hal ini mengurangi rasa percaya diri mereka.
5. Ketidaksesuaian Menjadi Awal Konflik
Kadang ketidaksesuaian antar bentuk khalqiyah dengan nama yang disandang menyebabkan konflik batin. Sehingga konflik batin tersebut menghambat perkembangan jiwanya dan potensinya.

Pada tahun 1966, John McDavid dan Herbert Harari pernah melaporkan hasil penelitiannya tentang anak-anak yang memiliki nama-nama yang tidka menarik, kurang popular, dibandingkan dengan anak-anak yang mempunyai nama-nama menarik. Ternyata Mc David dan Harari mendapati anak-anak yang namanya tidak menarik, mereka biasanya sering dikucilkan oleh kelompok anak-anak seusiannya. Sedangkan ketidakpopuleran anak juga akan mempengaruhi kemampuannya dalam bersosialisasi dengan teman sebayanya.
Ketika John Gottman mengadakan penelitian bersama-sama dengan John Gonso dan Brian Rasmussee, ketiganya juga mendapatkan hasil yang serupa. Berdasarkan hasil penelitiannya menunjukkan bahwa anak yang tidak popular, mereka biasanya tidak tahu bagaimana akan menjalin persahabatan dengan orang-orang yang baru dikenalnya.

Bolehkah mengganti Nama?
Ada sebagaian orang yang menyadari bahwa nama yang diberikan oleh orangtuanya bermakna tidak baik bahkan menyalahi syar’i. Ada pula orangtua yang menyadari bahwa nama yang diberikan kepada anaknya kurang baik. Namun timbul pertanyaan dalam benak mereka tentang boleh tidaknya mengganti nama.
Apakah mengganti nama merupakan bentuk tidak berbakti kepada orangtua ataukah tidak? Karena ada yang beranggapan bahwa mengganti nama merupakan salah satu bentuk tidak berbakti kepada orangtua.
Perlu diketahui bahwa selain Rasulullah  memerintahkan kepada para orangtua untuk memilihkan nama yang baik bagi anak, beliau juga menganjurkan untuk mengubah nama yang jelek. Di antara yang dianjurkan -bahkan sebagian diwajibkan- untuk diganti adalah :
1. Nama yang bermakna buruk
Dari Ibnu Umar  bahwasanya Rasulullah mengganti nama ‘Ashiyah (wanita yang melawan). Beliau bersabda: Namamu Jamilah (wanita yang bagus).
Syaikh Abu Thoyyib (muallif ‘Aunul Ma’bud) mengatakan; orang-orang terdahulu menamakan Al ‘Ash atau Al ‘Ashiyah dengan maksud terbebas dari kekurangan, aib, dan cacat. Maka ketika datang Islam hal tersebut dilarang. Sehingga rasul pun mengganti namanya dengan nama yang baik. Dan di antara hikmah sebab tidak digantinya nama wanita tersebut dengan nama “muthi’ah” (wanita yang taat) adalah agar nama “muthi’ah” tidak menjadi tazkiyah (pensucian/pujian) baginya.
Selain itu, Abu Daud berkata: “Rasulullah  mengganti nama al ‘Ash, ‘Aziz, ‘Atlah, Syaithan, Hakam, Ghurob, Hubab, Syihab, dengan nama Hisyam. Dan mengganti Harb dengan Silm, kemudian al Mudhthoji’ dengan al Munba’its, Ardhon ‘Afroh dengan Khodhiroh, Syi’bu Dholalah dengan Syi’bul Huda, Banu Ziniyah dengan Banu Risydah, dan menyebut Bani Mughwiyah dengan Bani Risydah.”
2. Nama yang menyalahi syar’I
Suatu ketika datang utusan kepada rasulullah . Kemudian rasulullah  mendengar salah seorang dari mereka yang dipanggil dengan Abu Al Hakam. Maka Rasulullah pun memanggilnya dan bersabda: Sesungguhnya Allahlah Al Hakam dan kepada-Nyalah segala perkara, maka mengapa engkau dipanggil Abu Al Hakam? Diapun menjawab: Sesungguhnya kaumku apabila berselisih dalam suatu perkara, mereka mendatangiku. Maka akupun memutuskan perkara mereka, sehingga keduanyapun ridha dengan keputusanku. Kemudian rasulullah  bersabda: Alangkah bagusnya hal ini, tetapi tidakkah engkau memiliki anak? Diapun menjawab: Saya memiliki anak bernama Syuraih, Muslim, dan Abdullah. Rasulpun bertanya lagi: “Siapakah anakmu yang paling tua? “Syuraih”, jawabnya. Maka Rasulpun bersabda: “Maka namamu Abu Syuraih”.
Begitu juga nama Malikul Amlak (Raja Diraja). Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah  :
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِِ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ: إِنَّ أَخْنَعَ اسْمٍ عِنْدَ اللهِ رَجُلٌ تُسَمَّى مَلِكُ اْلأَمْلاَكِ لاَ مَالِكَ إِلاَّ اللهُ
Dari Abu Hurairah  dari Rasulullah  bersabda: “Sesungguhnya nama yang paling hina di sisi Allah adalah seorang laki-laki yang bernama Malikul Amlak (Raja Diraja), tidak ada raja kecuali Allah.”
Sesungguhnya lafadz ini hanyalah pantas untuk Allah, Dialah Raja Diraja. Tidak ada raja yang lebih agung dan lebih besar kekuasaannya dibandingkan Dia. Dialah pemilik kemuliaan. Dia memberikan kekuasaan kepada hamba yang dikehendaki dan mencabutnya dari yang dikehendaki. Hanya kekuasaan Allahlah yang senantiasa ada pada-Nya dan tidak ada batasnya. Berbeda dengan hambanya, pada hakekatnya dia tidak memiliki apa-apa kecuali hanyalah sekedar nama.
Selain itu Rasulullah  mengabarkan kepada umatnya sejelek, sehina, dan serendah nama adalah Malikul Amlak. Hal ini disebabkan dia mengangkat dirinya kepada kedudukan yang tidak disanggupi. Tidak ada raja selain Allah. Selain hadits ini merupakan peringatan kepada pemilik nama semisal, walaupun hal ini disebabkan karena kebodohan.
3. Yang Menggunakan Kunyah Rasul
Suatu ketika Rasulullah  berjalan di pasar kemudian ada seorang laki-laki yang memanggil: “Wahai Abu Qosim”, maka Rasulullah pun menoleh kepadanya. Laki-laki itupun menjawab: Wahai Rasulullah saya tidak bermaksud memanggilmu namun aku bermaksud memanggil si fulan. Maka Rasulullah pun bersabda: “Berilah dengan namaku namun janganlah kalian memanggil dengan kunyahku”
Dalam riwayat yang lain ada seseorang yang memiliki anak, kemudian dia menamainya dengan al Qosim. Maka kaum anshor pun berkata: “kami tidak akan memberimu kunyah Abu Qosim dan tidak memberimu hadiah. Maka diapun mendatangi Rasulullah  dan menceritakan hal tersebut. Maka Rasulullah pun menjawab: “Kaum Anshor telah melakukan hal yang benar, berilah nama dengan namaku namun jangan gunakan kunyahku, sesungguhnya akulah Qosim (pembagi).”
4. Penghambaan kepada selain Allah
Bahwasanya tidak ada dalil yang mewajibkan untuk mengganti nama kecuali di sana ada nama-nama yang menyelisihi syar’i. Contohnya nama yang memiliki makna penghambaan kepada selain Allah misalnya Abdul Masih (Hamba Al Masih), atau selainnya, maka hal ini hukumnya wajib.
5. Yang Menggunakan Nama Selain Islam
Syaikh bin baz dalam salah satu fatwanya mengatakan, tidak boleh menggunakan nama yang masyhur digunakan orang Nashrani. Hal ini ditakutkan apabila nama itu disebut, maka manusia yang lain akan menyangka bahwa dia seorang Nasrani. Maka mengganti nama seperti ini sangat dianjurkan.

Akhir Kata
Ketika orangtua memberi nama anaknya dengan nama yang baik berarti dia telah berharap agar anaknya nanti menjadi anak yang shaleh dan shalehah. Yang mana anak merupakan investasi akhirat bagi kedua orangtua. Walaupun amal terputus pahala akan terus mengalir kepada kedua orangtuanya.


REFERENSI:
• Shohih Bukhori, Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al Bukhori al Ju’fi, Darus Salam, Riyadh, Cetakan pertama: 1417 H / 1997 M
• Shohih Muslim, Imam Abi Husain Muslim bin al Hajjaj bin Muslim al Qusyairi an Nisaburi, Darus Salam, Riyadh, Cetakan pertama: 1419 H / 1998 M
• Sunan Abi Daud, Imam al Hafidhz Abi Daud Sulaiman bin al Asy’ats as Sajastani al Ardzy, Dar Ibn Hazm, Cetakan pertama: 1419 H/1998 M.
• Al Muwatto’, Imam Malik, Darul Fikr, Cetakan ketiga 1422 H/ 2002 M.
• Musnad Ahmad, Imam al Hafidz Abi Abdillah Ahmad bin Hambal, Baitul Afkar ad Dauliyyah, 1419 H / 1998 M.
• ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, Abu Thoyyib Muhammad Syamsul Haq al ‘Adzhim al Baady, Darul Fikr, Cetakan ketiga 1399 H/ 1979 M.
• Mendidik Anak Bersama Rasulullah, Muhammad Suwaid, Pustaka Arafah, Cetakan kedua, April 2004
• Mendidik Dengan Cinta, Irawati Istadi, Pustaka Inti, Cetakan keenam, Mei 2006
• Zaadul Ma’ad fie Hadyi Khoiril ‘Ibad, Ibnul Qoyyim Al Jauziyah, Muassasah ar Risalah, Cetakan ketiga, 1419 H/ 1998 M
• Tahapan mendidik Anak Teladan Rasulullah  , Jamaal ‘Abdur Rahman, Irsyad Baitus Salam, Cetakan Pertama, September 2005
• Majelis penyubur Iman, Ibnu Qoyyim Al Jauziyyah, Pustaka Syahadah, Cetakan pertama, Mei 2003 / Rabiul Awwal 1424 H
• Kudidik anakku dengan bahagia, Imam Musbikin, Mitra Pustaka, Cetakan I, Maret 2003
• Majmu' Fatawa wa Maqolat Mutanawwi'ah, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Abdurrahman bin Baz, Juz 4 hal 153, Riasah Idarotul Buhus Al Ilmiyah wal Ifta, cetakan ketiga 1416 H/1996 M.

Oleh Firmansyah

This entry was posted on 20.40 and is filed under . You can leave a response and follow any responses to this entry through the Langganan: Posting Komentar (Atom) .

0 komentar

Posting Komentar